Jumat, 14 Desember 2012

Masa Depan Demokrasi Kita


Tanggal 8-9 November, Indonesia kembali menjadi tuan rumah Bali Democracy Forum di Nusa Dua, Bali. Penyelenggaraan Bali Democracy Forum itu tentu dapat dijadikan momentum bagi bangsa Indonesia untuk melakukan refleksi sekaligus pembenahan terhadap praktik demokrasi kita selama ini.

Tidak dapat dimungkiri, Indonesia saat ini telah menjelma sebagai negara demokrasi ketiga terbesar di dunia sekaligus negara demokrasi terbesar di kawasan Asia Tenggara. Pelaksanaan pemilihan umum tahun 1999, 2004, dan 2009 yang berlangsung secara demokratis menjadi bentuk penegasan sikap bangsa Indonesia untuk memilih demokrasi sebagai jalan hidup berbangsa dan bernegara.

Meski begitu, harus diakui pula, setelah 14 tahun berpaling dari rezim otoritarianisme, eksistensi demokrasi di Indonesia ternyata belum banyak memberi arti. Demokrasi seakan hanya menjadi konsumsi sekelompok elite politik. Apa yang ada di benak sebagian besar elite politik kita bukan bagaimana cara menghadirkan kesejahteraan bagi rakyat, melainkan justru kapan dan bagaimana cara merebut, menjalankan, dan mempertahankan kekuasaan.

Tiga Hal

Realitas miris tentang praktik politisasi kekuasaan itu memunculkan kegundahan di benak kita semua: apakah pilihan terhadap demokrasi yang ditempuh bangsa Indonesia sejak 1998 sudah benar? Penulis teringat pidato Boediono dalam acara pengukuhan guru besar Ilmu Ekonomi Universitas Gadjah Mada tahun 2007. Melalui pidato berjudul Dimensi Ekonomi Politik Pembangunan Indonesia itu Pak Boed--demikian sapaan akrab Boediono--berusaha mencari jawaban atas kegundahan sebagaimana penulis ungkapkan di atas.

Pada bagian awal pidato, Boediono dengan penuh keyakinan menjawab kegundahan itu. Ia menilai Indonesia telah berada di jalur yang benar (on the right track) dalam menjatuhkan pilihan atas jalan demokrasi. Namun, posisi on the right track itu tidak serta merta menjadi jaminan bahwa bangsa Indonesia pasti akan sampai pada tujuan dan cita-cita bersama.

Boediono mencoba memetakan risiko-risiko yang sangat mungkin dihadapi oleh setiap bangsa yang hendak melakukan modernisasi dan demokratisasi, termasuk Indonesia. Dari pemetaan itu Boediono berpandangan ada tiga hal utama yang berpotensi menghadirkan risiko. Pertama, kohesi sosial. Syarat paling mendasar bagi keberhasilan proses transformasi setiap bangsa adalah kemampuan mempertahankan eksistensi dan keutuhan. Kemampuan itu sangat bergantung pada kekuatan kohesi sosial.

Setiap bangsa memiliki kapasitas kohesi sosial yang berbeda. Yang perlu diwaspadai, terutama pada tahap-tahap awal rawan, adalah kepandaian suatu bangsa dalam menjaga keseimbangan antara kekuatan kohesi sosial di satu sisi dan kecepatan perubahan di sisi lain.

Dalam pandangan Boediono kohesi sosial bangsa Indonesia termasuk dalam kelompok peringkat sedang. Bangsa Indonesia beruntung karena tidak memiliki sejarah perseteruan panjang antarkelompok, suku, dan agama. Para pejuang kemerdekaan dan pendiri bangsa telah berhasil menempa kesadaran berbangsa yang hingga kini tetap kokoh. Indonesia patut menyadari atas keragaman budaya, agama, dan tradisi yang berpotensi menimbulkan perpecahan.

Demokratisasi, desentralisasi, modernisasi, dan transformasi menuju keterbukaan, jika tidak dikelola dengan arif dapat menciptakan kekuatan-kekuatan sentrifugal. Sebaliknya, pendidikan dan pertumbuhan ekonomi yang tersebar dan penerapan good governance akan memperkuat kohesi sosial.

Kedua, kinerja ekonomi. Risiko besar lain yang menghadang perjalanan transformasi bangsa adalah stagnasi ekonomi atau kemunduran ekonomi. Apabila ini terjadi, kemungkinan besar proses transformasi bangsa akan kandas di tengah jalan.

Dalam mengelaborasi hal ini Boediono menggunakan sebuah studi empiris tahun 1950-1990. Studi itu menunjukkan, berdasarkan pengalaman empiris selama 1950-1990, rezim demokrasi di negara-negara dengan penghasilan per kapita US$1.500 (berdasarkan purchasing power parity) memiliki harapan hidup delapan tahun. Pada tingkat penghasilan per kapita US$1.500- US$3.000 demokrasi dapat bertahan rata-rata 18 tahun.

Pada penghasilan per kapita di atas US$6.600 daya hidup sistem demokrasi jauh lebih besar dengan probabilitas kegagalan 1:500. Artinya, benih demokrasi baru akan dapat bersemai dengan baik jika pendapatan per kapita suatu negara mencapai US$6.600.Oleh karena pendapatan per kapita Indonesia saat ini baru mencapai sekitar US$3.000-US$4.000, Boediono memperkirakan perlu waktu sekitar sembilan tahun bagi Indonesia mencapai batas aman. Perkiraan itu didasarkan pada asumsi pertumbuhan ekonomi rata-rata tujuh persen per tahun dengan laju pertumbuhan penduduk 1,2 persen per tahun.

Ketiga, kelas pembaharu. Salah satu simpul kritis dalam pembangunan demokrasi adalah tercipta kelas pembaharu yang mampu berperan sebagai pendorong dan pengawal demokratisasi. Demokrasi di sini harus diartikan secara substantif, tidak hanya sebatas aspek prosedural, seperti pemilihan umum. Pembedaan antara demokrasi dalam arti aspek prosedural formal dan demokrasi dalam arti substantif merupakan hal penting.

Dari ketiga hal itu, kinerja ekonomi memang menjadi hal paling krusial dalam menentukan masa depan demokrasi sebuah negara. Beruntung bagi Indonesia, awan kelabu krisis global yang tengah melanda sebagian besar negara di Eropa dan Amerika Serikat tidak membawa imbas negatif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Optimistis

Pertumbuhan ekonomi Indonesia dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan. Rata-rata pertumbuhan ekonomi pada kurun waktu 2010-2014 sebesar 6,3-6,8 persen. Target pertumbuhan ekonomi dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 adalah pertumbuhan ekonomi minimal mencapai 7 persen tahun 2014. Kebutuhan atas pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan akan mendorong Indonesia menjadi negara 10 besar ekonomi dunia pada 2025.

Selain itu, produk domestik bruto (PDB) Indonesia tahun 2011 mencapai US$840 miliar. Angka itu menunjukkan pendapatan per kapita memiliki potensi untuk terus meningkat. Diperkirakan, tahun 2025 produk domestik bruto Indonesia di kisaran US$4 triliun, sehingga masuk dalam negara dengan penduduk berpenghasilan tinggi dengan pendapatan per kapita US$14.250-US$15.500. Tren positif kinerja ekonomi Indonesia dapat menjadi alasan: kita layak bersikap optimistis bahwa demokrasi Indonesia memiliki masa depan cerah.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More