Oleh : Rozik Boedioro Soetjipto
PT Freeport Indonesia
(PTFI) belum lama memiliki pemimpin baru. Selain meredam mogok kerja para
karyawan, pemimpin baru ini berencana melepas 5% saham PTFI. Bagaimana latar
belakang penunjukan dan rencana strategis bisnisnya? Bagaimana nasib kontrak
PTFI dengan pemerintah? Berikut wawancara wartawan KONTAN Andri Indradie dengan
Presiden Direktur PTFI, Rozik Boedioro Soetjipto, Selasa (27/7) tiga pekan
lalu.
Saya baru menjabat
Presiden Direktur PT Freeport Indonesia (Freeport) sekitar lima bulan. Butuh
waktu cukup lama, sekitar enam bulan bagi saya mempertimbangkan sebelum menerima jabatan ini.
Saya sudah lama
mengenal James Robert Moffett “Jim Bob”, Chief Executive Officer (CEO) McMoRan
Exploration sekaligus Komisaris Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc, induk
usaha PT FI. Kami kenal sejak 1991, kami cukup dekat.
Saya juga sudah banyak
diskusi dengan Pak James tentang rencana investasi Freeport dan perpanjangan
kontrak. Tapi, soal itu kami bicarakan sekitar awal 2011. Waktu itu, sudah ada
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Saya sampaikan kepada
beliau bahwa jika bertahan di kontrak karya, kita akan bertahan secara legal
dan lari ke arbitrase. Berbekal kebijakan baru, Pemerintah Indonesia meminta
renegosiasi. Artinya, kita mesti mencari solusi atas hal paling ekstrem antara
pegangan pada kontrak karya dengan kebijakan baru pemerintah.
Terus saya bilang,
pemerintah tidak akan – ini pendapat pribadi – memberikan perpanjangan kalau
pemerintah tidak bisa mengatakan pada rakyatnya: “Kita mendapatkan satu hasil
perjanjian yang bagus.”
Bagus itu mestinya
lebih baik dari yang sudah berjalan. Soal baiknya seberapa, itu lain cerita.
Soalnya, kalau tidak, pemerintah bisa dimaki-maki rakyatnya. Nah, tidak lama
setelah itu, terjadi pemogokan besar.
Lantas, saya diminta
membuat analisis dan menyampaikannya kepada beliau. Pertama, masalah
ketenagakerjaan (hubungan industrial) terkait dampak pemogokan karyawan sewaktu
perundingan PKB yang ke-17, tahun lalu.
Kewajiban manajemen
adalah mencari akar permasalahan, antara lain yang sangat pokok adalah memperbaiki
kebutuhan dasar (quality of life), khususnya bagi karyawan non-staf, misalnya
fasilitas akomodasi, jatah dan mutu makanan, transportasi, rekreasi, dan
lain-lain.
Lantas, memperbaiki
komunikasi antara manajemen dengan staf dan non-staf untuk menciptakan suasana
kerja yang nyaman dan harmonis. Kemudian menghilangkan sejauh mungkin dikotomi
antarkelompok karyawan, Papua–non-Papua, mantan pemogok, non-pemogok, dan lainnya menjadi satu
kembali, yaitu keluarga besar Freeport.
Kedua, memperbaiki
citra Freeport. Caranya, menghilangkan kesan arogansi dan ketertutupan melalui
perbaikan komunikasi eksternal dengan media, instansi pemerintah, Dewan
Perwakilan Rakyat, akademisi, LSM, dan lainnya.
Lalu, menyosialisasikan
kinerja perusahaan, kontribusi kepada negara, kegiatan kemasyarakatan dan
lainnya secara luas sampai ke tingkat nasional. Demikian juga Freeport harus
bersifat terbuka kepada kritik dan saran demi perbaikan.
Ketiga, melakukan
review atas organisasi dan budaya korporasi. Visi dan misi di samping
berorientasi bisnis pertambangan harus diimbangi dengan pemenuhan kewajiban
sebagai warga korporasi Indonesia yang baik (good corporate citizen).
Budaya korporasi
Freeport harus mencerminkan nuansa keindonesiaan dengan manajemen yang
mempunyai kewenangan mengelola perusahaan, khususnya dalam menjalankan dan
memenuhi kewajiban sebagai warga korporasi Indonesia yang baik. Jangan sampai
terkesan bahwa Freeport tidak lebih daripada kantor cabang perusahaan tambang
Amerika Serikat di Indonesia saja.
Keempat, masa depan
Freeport pasca-2021 (setelah berakhirnya masa 30 tahun produksi), tidak mungkin
lagi mengandalkan pada sistem kontrak karya (KK). Sebab, ada kebijakan baru
pemerintah RI di sektor pertambangan.
Pemerintah pasti akan
menuntut ketentuan dan perizinan perpanjangan operasi Freeport yang lebih
menguntungkan agar mendapat dukungan dari legislatif dan berbagai kalangan
masyarakat secara luas. Freeport perlu menentukan sikap secara bijaksana agar
kelanjutan operasinya di Indonesia bukan hanya mendapat persetujuan pemerintah,
tapi juga diterima dengan sikap bersahabat oleh rakyat Indonesia.
Nah, analisis-analisis
itu saya sampaikan. Terus, pihak Free-port bilang: “Ya, sudah. Itu (analisis)
dikerjakan.” Saya sempat bilang: “Wah, entar dulu. Kan, kalau orang ngasih tahu
lebih gampang daripada melaksanakan.”
Bukan hanya cari untung
Otomatis, empat hal itu
yang menjadi arah strategi saya saat ini ketika menjadi Presiden Direktur
Freeport. Harapan saya, Freeport punya visi bahwa korporasi merupakan unit
bisnis dan karyawan harus nyaman. Saya ingin karyawan bangga menjadi keluarga
Freeport.
Di dunia bisnis,
perusahaan tetap harus mencari untung. Tapi, perusahaan ini jangan hanya
memikirkan bisnis. Freeport ini harus menjadi warga korporasi yang baik. Kalau orientasi
Freeport bisnis murni, semua biaya harus serendah mungkin, keuntungan harus
sebesar mungkin. Tapi, dari sisi yang lain, aspek yang satu lagi tidak bisa
kita tinggalkan, harus seimbang.
Satu hal lagi, sumber
daya alam, khususnya yang tidak terbarukan, mempunyai arti yang sangat khusus
untuk masyarakat maupun negara yang memiliki resources tadi. Anda melihat, jika
tidak ada yang menemukan, resources juga tidak ketemu.
Kinerja Freeport tidak
masalah. Tahun lalu, pasar kami mencapai 43%. Kompetitor utama dari sisi
global, yang utama dari Chili. Cuma, sekarang ini kami menghadapi satu fase
habisnya cadangan tambang permukaan yang sekarang menjadi tulang punggung
produksi kami. Oleh karena, kami akan mengalami suatu masa di mana produksi
menurun mulai sekitar tahun 2017. Karenanya, upaya kami sekarang ini adalah
melakukan investasi untuk mempersiapkan tambang bawah tanah.
Makanya, bakal ada
keretaapi untuk mengangkut biji batu. Sekarang sedang kita siapkan. Ini erat
kaitannya dengan masalah investasi dan kepastian kami diberi perpanjangan mulai
2021 atau tidak. Karena tambang bawah tanah ini baru akan siap sekitar 2021
itu.
Sampai sekarang, untuk
persiapan underground itu, kami sediakan sekitar US$ 7 miliar– US$ 8 miliar.
Lantas, di 2012–2021, ada US$ 9 miliar sekian. Untuk investasi 2021-2041, ada
hampir US$ 8 miliar. Jadi total, sampai 2041 nanti (kalau negosiasi itu
disepakati), antara US$ 16 miliar–US$ 18 miliar.
Sumber dana dari
konsorsium perbankan yang diusahakan oleh induk perusahaan. Sisanya, mungkin
dari divestasi dengan menjual saham ke publik. Sekarang ini pemerintah sudah
dimiliki 9,36% saham. Kami sudah bersedia divestasi sampai dengan 20% saham.
Jadi, sudah ada tambahan sekitar 10,64%. Hanya, divestasinya bagaimana, hal itu
masih belum ada kepastian.
Soal royalti, sudah
tersebar di media juga, pemerintah meminta 3,75%. Tapi, sebenarnya, angka
royalti ini belum pasti. Yang jelas, saya melihat, pemerintah memahami keadaan
kami yang butuh produksi dan investasi. Tetapi yang penting, saya kira,
pemerintah memahami perlunya ada kontinuitas operasi produksi kami.
0 komentar:
Posting Komentar