Jumat, 14 Desember 2012

PT Freeport Indonesia (PTFI) Tidak hannya memikirkan bisnis


Oleh : Rozik Boedioro Soetjipto

PT Freeport Indonesia (PTFI) belum lama memiliki pemimpin baru. Selain meredam mogok kerja para karyawan, pemimpin baru ini berencana melepas 5% saham PTFI. Bagaimana latar belakang penunjukan dan rencana strategis bisnisnya? Bagaimana nasib kontrak PTFI dengan pemerintah? Berikut wawancara wartawan KONTAN Andri Indradie dengan Presiden Direktur PTFI, Rozik Boedioro Soetjipto, Selasa (27/7) tiga pekan lalu.

Saya baru menjabat Presiden Direktur PT Freeport Indonesia (Freeport) sekitar lima bulan. Butuh waktu cukup lama, sekitar enam bulan bagi saya mempertimbangkan  sebelum menerima jabatan ini. 
Saya sudah lama mengenal James Robert Moffett “Jim Bob”, Chief Executive Officer (CEO) McMoRan Exploration sekaligus Komisaris Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc, induk usaha PT FI. Kami kenal sejak 1991, kami cukup dekat.

Saya juga sudah banyak diskusi dengan Pak James tentang rencana investasi Freeport dan perpanjangan kontrak. Tapi, soal itu kami bicarakan sekitar awal 2011. Waktu itu, sudah ada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Saya sampaikan kepada beliau bahwa jika bertahan di kontrak karya, kita akan bertahan secara legal dan lari ke arbitrase. Berbekal kebijakan baru, Pemerintah Indonesia meminta renegosiasi. Artinya, kita mesti mencari solusi atas hal paling ekstrem antara pegangan pada kontrak karya dengan kebijakan baru pemerintah.

Terus saya bilang, pemerintah tidak akan – ini pendapat pribadi – memberikan perpanjangan kalau pemerintah tidak bisa mengatakan pada rakyatnya: “Kita mendapatkan satu hasil perjanjian yang bagus.”
Bagus itu mestinya lebih baik dari yang sudah berjalan. Soal baiknya seberapa, itu lain cerita. Soalnya, kalau tidak, pemerintah bisa dimaki-maki rakyatnya. Nah, tidak lama setelah itu, terjadi pemogokan besar.
Lantas, saya diminta membuat analisis dan menyampaikannya kepada beliau. Pertama, masalah ketenagakerjaan (hubungan industrial) terkait dampak pemogokan karyawan sewaktu perundingan PKB yang ke-17, tahun lalu.

Kewajiban manajemen adalah mencari akar permasalahan, antara lain yang sangat pokok adalah memperbaiki kebutuhan dasar (quality of life), khususnya bagi karyawan non-staf, misalnya fasilitas akomodasi, jatah dan mutu makanan, transportasi, rekreasi, dan lain-lain.

Lantas, memperbaiki komunikasi antara manajemen dengan staf dan non-staf untuk menciptakan suasana kerja yang nyaman dan harmonis. Kemudian menghilangkan sejauh mungkin dikotomi antarkelompok karyawan, Papua–non-Papua, mantan pemogok,  non-pemogok, dan lainnya menjadi satu kembali, yaitu keluarga besar Freeport.

Kedua, memperbaiki citra Freeport. Caranya, menghilangkan kesan arogansi dan ketertutupan melalui perbaikan komunikasi eksternal dengan media, instansi pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat, akademisi, LSM, dan lainnya.

Lalu, menyosialisasikan kinerja perusahaan, kontribusi kepada negara, kegiatan kemasyarakatan dan lainnya secara luas sampai ke tingkat nasional. Demikian juga Freeport harus bersifat terbuka kepada kritik dan saran demi perbaikan.

Ketiga, melakukan review atas organisasi dan budaya korporasi. Visi dan misi di samping berorientasi bisnis pertambangan harus diimbangi dengan pemenuhan kewajiban sebagai warga korporasi Indonesia yang baik (good corporate citizen).

Budaya korporasi Freeport harus mencerminkan nuansa keindonesiaan dengan manajemen yang mempunyai kewenangan mengelola perusahaan, khususnya dalam menjalankan dan memenuhi kewajiban sebagai warga korporasi Indonesia yang baik. Jangan sampai terkesan bahwa Freeport tidak lebih daripada kantor cabang perusahaan tambang Amerika Serikat di Indonesia saja.

Keempat, masa depan Freeport pasca-2021 (setelah berakhirnya masa 30 tahun produksi), tidak mungkin lagi mengandalkan pada sistem kontrak karya (KK). Sebab, ada kebijakan baru pemerintah RI di sektor pertambangan.

Pemerintah pasti akan menuntut ketentuan dan perizinan perpanjangan operasi Freeport yang lebih menguntungkan agar mendapat dukungan dari legislatif dan berbagai kalangan masyarakat secara luas. Freeport perlu menentukan sikap secara bijaksana agar kelanjutan operasinya di Indonesia bukan hanya mendapat persetujuan pemerintah, tapi juga diterima dengan sikap bersahabat oleh rakyat Indonesia.

Nah, analisis-analisis itu saya sampaikan. Terus, pihak Free-port bilang: “Ya, sudah. Itu (analisis) dikerjakan.” Saya sempat bilang: “Wah, entar dulu. Kan, kalau orang ngasih tahu lebih gampang daripada melaksanakan.”

Bukan hanya cari untung

Otomatis, empat hal itu yang menjadi arah strategi saya saat ini ketika menjadi Presiden Direktur Freeport. Harapan saya, Freeport punya visi bahwa korporasi merupakan unit bisnis dan karyawan harus nyaman. Saya ingin karyawan bangga menjadi keluarga Freeport.

Di dunia bisnis, perusahaan tetap harus mencari untung. Tapi, perusahaan ini jangan hanya memikirkan bisnis. Freeport ini harus menjadi warga korporasi yang baik. Kalau orientasi Freeport bisnis murni, semua biaya harus serendah mungkin, keuntungan harus sebesar mungkin. Tapi, dari sisi yang lain, aspek yang satu lagi tidak bisa kita tinggalkan, harus seimbang.

Satu hal lagi, sumber daya alam, khususnya yang tidak terbarukan, mempunyai arti yang sangat khusus untuk masyarakat maupun negara yang memiliki resources tadi. Anda melihat, jika tidak ada yang menemukan, resources juga tidak ketemu.

Kinerja Freeport tidak masalah. Tahun lalu, pasar kami mencapai 43%. Kompetitor utama dari sisi global, yang utama dari Chili. Cuma, sekarang ini kami menghadapi satu fase habisnya cadangan tambang permukaan yang sekarang menjadi tulang punggung produksi kami. Oleh karena, kami akan mengalami suatu masa di mana produksi menurun mulai sekitar tahun 2017. Karenanya, upaya kami sekarang ini adalah melakukan investasi untuk mempersiapkan tambang bawah tanah.

Makanya, bakal ada keretaapi untuk mengangkut biji batu. Sekarang sedang kita siapkan. Ini erat kaitannya dengan masalah investasi dan kepastian kami diberi perpanjangan mulai 2021 atau tidak. Karena tambang bawah tanah ini baru akan siap sekitar 2021 itu.

Sampai sekarang, untuk persiapan underground itu, kami sediakan sekitar US$ 7 miliar– US$ 8 miliar. Lantas, di 2012–2021, ada US$ 9 miliar sekian. Untuk investasi 2021-2041, ada hampir US$ 8 miliar. Jadi total, sampai 2041 nanti (kalau negosiasi itu disepakati), antara US$ 16 miliar–US$ 18 miliar.

Sumber dana dari konsorsium perbankan yang diusahakan oleh induk perusahaan. Sisanya, mungkin dari divestasi dengan menjual saham ke publik. Sekarang ini pemerintah sudah dimiliki 9,36% saham. Kami sudah bersedia divestasi sampai dengan 20% saham. Jadi, sudah ada tambahan sekitar 10,64%. Hanya, divestasinya bagaimana, hal itu masih belum ada kepastian.

Soal royalti, sudah tersebar di media juga, pemerintah meminta 3,75%. Tapi, sebenarnya, angka royalti ini belum pasti. Yang jelas, saya melihat, pemerintah memahami keadaan kami yang butuh produksi dan investasi. Tetapi yang penting, saya kira, pemerintah memahami perlunya ada kontinuitas operasi produksi kami.


0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More