Tanggal 8-9 November,
Indonesia kembali menjadi tuan rumah Bali Democracy Forum di Nusa Dua, Bali.
Penyelenggaraan Bali Democracy Forum itu tentu dapat dijadikan momentum bagi
bangsa Indonesia untuk melakukan refleksi sekaligus pembenahan terhadap praktik
demokrasi kita selama ini.
Tidak dapat dimungkiri,
Indonesia saat ini telah menjelma sebagai negara demokrasi ketiga terbesar di
dunia sekaligus negara demokrasi terbesar di kawasan Asia Tenggara. Pelaksanaan
pemilihan umum tahun 1999, 2004, dan 2009 yang berlangsung secara demokratis
menjadi bentuk penegasan sikap bangsa Indonesia untuk memilih demokrasi sebagai
jalan hidup berbangsa dan bernegara.
Meski begitu, harus
diakui pula, setelah 14 tahun berpaling dari rezim otoritarianisme, eksistensi
demokrasi di Indonesia ternyata belum banyak memberi arti. Demokrasi seakan
hanya menjadi konsumsi sekelompok elite politik. Apa yang ada di benak sebagian
besar elite politik kita bukan bagaimana cara menghadirkan kesejahteraan bagi
rakyat, melainkan justru kapan dan bagaimana cara merebut, menjalankan, dan
mempertahankan kekuasaan.
Tiga Hal
Realitas miris tentang
praktik politisasi kekuasaan itu memunculkan kegundahan di benak kita semua:
apakah pilihan terhadap demokrasi yang ditempuh bangsa Indonesia sejak 1998
sudah benar? Penulis teringat pidato Boediono dalam acara pengukuhan guru besar
Ilmu Ekonomi Universitas Gadjah Mada tahun 2007. Melalui pidato berjudul
Dimensi Ekonomi Politik Pembangunan Indonesia itu Pak Boed--demikian sapaan
akrab Boediono--berusaha mencari jawaban atas kegundahan sebagaimana penulis ungkapkan
di atas.
Pada bagian awal
pidato, Boediono dengan penuh keyakinan menjawab kegundahan itu. Ia menilai
Indonesia telah berada di jalur yang benar (on the right track) dalam
menjatuhkan pilihan atas jalan demokrasi. Namun, posisi on the right track itu
tidak serta merta menjadi jaminan bahwa bangsa Indonesia pasti akan sampai pada
tujuan dan cita-cita bersama.
Boediono mencoba
memetakan risiko-risiko yang sangat mungkin dihadapi oleh setiap bangsa yang
hendak melakukan modernisasi dan demokratisasi, termasuk Indonesia. Dari
pemetaan itu Boediono berpandangan ada tiga hal utama yang berpotensi
menghadirkan risiko. Pertama, kohesi sosial. Syarat paling mendasar bagi
keberhasilan proses transformasi setiap bangsa adalah kemampuan mempertahankan
eksistensi dan keutuhan. Kemampuan itu sangat bergantung pada kekuatan kohesi
sosial.
Setiap bangsa memiliki
kapasitas kohesi sosial yang berbeda. Yang perlu diwaspadai, terutama pada
tahap-tahap awal rawan, adalah kepandaian suatu bangsa dalam menjaga keseimbangan
antara kekuatan kohesi sosial di satu sisi dan kecepatan perubahan di sisi
lain.
Dalam pandangan
Boediono kohesi sosial bangsa Indonesia termasuk dalam kelompok peringkat
sedang. Bangsa Indonesia beruntung karena tidak memiliki sejarah perseteruan panjang
antarkelompok, suku, dan agama. Para pejuang kemerdekaan dan pendiri bangsa
telah berhasil menempa kesadaran berbangsa yang hingga kini tetap kokoh.
Indonesia patut menyadari atas keragaman budaya, agama, dan tradisi yang
berpotensi menimbulkan perpecahan.
Demokratisasi,
desentralisasi, modernisasi, dan transformasi menuju keterbukaan, jika tidak
dikelola dengan arif dapat menciptakan kekuatan-kekuatan sentrifugal.
Sebaliknya, pendidikan dan pertumbuhan ekonomi yang tersebar dan penerapan good
governance akan memperkuat kohesi sosial.
Kedua, kinerja ekonomi.
Risiko besar lain yang menghadang perjalanan transformasi bangsa adalah
stagnasi ekonomi atau kemunduran ekonomi. Apabila ini terjadi, kemungkinan
besar proses transformasi bangsa akan kandas di tengah jalan.
Dalam mengelaborasi hal
ini Boediono menggunakan sebuah studi empiris tahun 1950-1990. Studi itu
menunjukkan, berdasarkan pengalaman empiris selama 1950-1990, rezim demokrasi
di negara-negara dengan penghasilan per kapita US$1.500 (berdasarkan purchasing
power parity) memiliki harapan hidup delapan tahun. Pada tingkat penghasilan
per kapita US$1.500- US$3.000 demokrasi dapat bertahan rata-rata 18 tahun.
Pada penghasilan per
kapita di atas US$6.600 daya hidup sistem demokrasi jauh lebih besar dengan
probabilitas kegagalan 1:500. Artinya, benih demokrasi baru akan dapat bersemai
dengan baik jika pendapatan per kapita suatu negara mencapai US$6.600.Oleh
karena pendapatan per kapita Indonesia saat ini baru mencapai sekitar
US$3.000-US$4.000, Boediono memperkirakan perlu waktu sekitar sembilan tahun
bagi Indonesia mencapai batas aman. Perkiraan itu didasarkan pada asumsi
pertumbuhan ekonomi rata-rata tujuh persen per tahun dengan laju pertumbuhan
penduduk 1,2 persen per tahun.
Ketiga, kelas
pembaharu. Salah satu simpul kritis dalam pembangunan demokrasi adalah tercipta
kelas pembaharu yang mampu berperan sebagai pendorong dan pengawal
demokratisasi. Demokrasi di sini harus diartikan secara substantif, tidak hanya
sebatas aspek prosedural, seperti pemilihan umum. Pembedaan antara demokrasi
dalam arti aspek prosedural formal dan demokrasi dalam arti substantif
merupakan hal penting.
Dari ketiga hal itu,
kinerja ekonomi memang menjadi hal paling krusial dalam menentukan masa depan demokrasi
sebuah negara. Beruntung bagi Indonesia, awan kelabu krisis global yang tengah
melanda sebagian besar negara di Eropa dan Amerika Serikat tidak membawa imbas
negatif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Optimistis
Pertumbuhan ekonomi
Indonesia dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan. Rata-rata pertumbuhan
ekonomi pada kurun waktu 2010-2014 sebesar 6,3-6,8 persen. Target pertumbuhan
ekonomi dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014
adalah pertumbuhan ekonomi minimal mencapai 7 persen tahun 2014. Kebutuhan atas
pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan akan mendorong Indonesia
menjadi negara 10 besar ekonomi dunia pada 2025.
Selain itu, produk
domestik bruto (PDB) Indonesia tahun 2011 mencapai US$840 miliar. Angka itu
menunjukkan pendapatan per kapita memiliki potensi untuk terus meningkat.
Diperkirakan, tahun 2025 produk domestik bruto Indonesia di kisaran US$4
triliun, sehingga masuk dalam negara dengan penduduk berpenghasilan tinggi
dengan pendapatan per kapita US$14.250-US$15.500. Tren positif kinerja ekonomi
Indonesia dapat menjadi alasan: kita layak bersikap optimistis bahwa demokrasi
Indonesia memiliki masa depan cerah.