ORANG Indonesia sepertinya belum siap mental untuk melihat
duit lewat. Bahkan dana untuk membantu masyarakat kecil dalam berbagai program
Tanggung Jawab Sosial Perusahan (CSR) pun disikat. Inilah yang kemudian memunculkan kasus korupsi
dana CSR (Corporate Social Responsibility).
Dana yang berasal dari perusahaan yang seharusnya diperuntukan bagi
pemberdayaan masyarakat, justru disunat dan dibagi sana sini sesuka hati. Kasus
terakhir adalah penyimpangan dana CSR dari PT Aneka Tambang (Antam) yang
menyeret Petinggi Universitas Jend
Sudirman sebagai pihak pelaksana program. Sebelumnya beberapa oknum Pemkot
Palembang juga digelandang ke pengadilan karena diduga memotong dana CSR dari PT Pusri. Selebihnya,
masih banyak kemungkinan dana CSR dari perusahan perusahaan yang jumlahnya
triliunan rupiah ini telah mengalir tidak tepat sasaran. Kasus-kasus terpendam
ini, sebentar lagi akan banyak diungkap.
Pertanyaannya menjadi banyak : apakah kesalahan penggunaan
dana CSR itu tindak pidana korupsi?, Apa saja komponen biaya dalam penggunaan
dana CSR yang diperbolehkan? Siapa yang berhak mengalokasikan dan mengawasi
dana CSR tersebut? Adakah lembaga khusus yang punya otoritas tentang program
CSR dan seterusnya.
Program CSR yang secara konseptual diharapkan adanya
kepedulian dari perusahaan untuk ikut serta mengatasi persoalan sosial,
akhirnya justru banyak menimbulkan persoalan. Pertama, Sejak kelahirannya, isu
mengenai kewajiban CSR di Indonesia telah membawa masalah. Kewajiban
melaksanakan CSR bagi perusahaan perusahaan yang diatur dalam UU No 25 Tahun
2007 tentang Penanaman Modal (UUPM) dan UU No 40 Tahun 2007 (UUPT) tentang
Perseroan Terbatas tidak bisa diterapkan secara sederhana. Belum lagi klausula
tentang Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) yang diatur dalam UU No 19
Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) yang secara substantif
sama dengan Program CSR.
Mengenai besaran biayanya, dalam UUPM tidak disebutkan
secara jelas jumlah dan sumbernya. Dalam UUPT
dana CSR wajib dianggarkan berdasarkan kepatutan dan kewajaran.
Sedangkan dalam UUBUMN yang dijelaskan
melalui Peraturan Menteri Negara BUMN No Per-05/MBU/2007 (Per.Men PKBL)
mengatur dana PKBL sebesar 4% keuntungan bersih. Kesimpangsiuran aturan
tersebut sangat potensial melahirkan konflik maupun untuk disalahgunakan. Saat
ini masih banyak perusahan yang bingung dalam menentukan besaran dana CSR.
Akhirnya, perusahaan hanya mengira-ira
saja. Kepatutan dan kewajaran yang dijadikan dasar adalah dari kebiasaan
praktik sebelumnya.
Khusus bagi PT BUMN hal ini juga masalah berat. Karena
secara norma akuntasi, dana PKBL yang bersumber dari keuntungan tidak sama dengan
dana CSR yang bersumber dari anggaran, walaupun substansi praktiknya sama yaitu
pemberdayaan masyarakat. Dalam pertemuan dengan beberapa PT BUMN mereka tetap
melaksanakan keduanya dalam mekanisme yang berbeda. Tentunya dengan keluhan
yang panjang. CSR akhinya menjadi beban biaya dan tambahan pekerjaan bagi mereka.
Kedua, dalam pelaksanaan program CSR, tentunya dibutuhkan
biaya operasional yang harus disediakan. UUPM dan UUPT tidak mengatur biaya
operasional dengan jelas. Sedangkan Per.Men PKBL, telah jelas menyebutkan.
Bahwa untuk program kemitraan yang bersifat pelatihan dan pendampingan maksimal
dana operasionalnya 20%, sedangkan untuk Bina Lingkungan yang sifatnya donasi,
besarnya 5% untuk biaya operasional. Tetapi berapa besar biaya operasional untuk
CSR tidak ada aturan yang baku. Oleh karena itu, sebaiknya pelaksanaan program
CSR, baik yang dilakukan oleh perusahaan sendiri atau bekerjasama dengan pihak
ketiga (bisa saja Perguruan Tinggi atau LSM) besarnya mengacu Per.Men PKBL.
Yang perlu dicatat dengan tinta merah bahwa: (1) dana CSR
tidak boleh dipungut atau dikelola
pemerintah. Karena pada prinsipnya ini adalah dana perusahaan untuk
masyarakat. Pemerintah tidak punya dasar untuk pelaporan pertanggungjawaban
dana CSR. Pemerintah hanya boleh
mengarahkan program CSR agar bersinergi dengan program pemerintah, (2)
Penggunaan dana CSR selain untuk program dan biaya operasional bisa
dikategorikan tindak pidana, karena mengambil hak milik masyarakat. Dan Jika
itu dilakukan oleh/untuk pejabat pemerintah, maka masuk kategori korupsi.
(Dr Mukti Fajar ND. Dosen Fakultas Hukum dan Kepala LP3M
UMY)
0 komentar:
Posting Komentar