Sabtu, 02 Maret 2013

Nasib Rupiah di kancah perang mata uang global


“The dollar is our currency, but it’s your problem”






Kalimat di atas diucapkan John Connally, Menteri Keuangan AS pada tahun 1971, menanggapi banyaknya negara yang khawatir akan dampak depresiasi dollar terhadap fundamental ekonomi masing-masing.

Connally yang pada tahun 1963 terluka parah karena berada di mobil yang sama saat Presiden Kennedy terbunuh kurang-lebih menghadapi persoalan yang mirip dengan yang dihadapi Timothy Geithner akhir-akhir ini.

Ketika itu, AS harus menaikkan pagu utang dan defisit anggaran masing-masing sebesar US$50 milyar dan US$40 milyar. Neraca pembayaran dan neraca perdagangan AS sedang berdarah-darah. Buruknya situasi ekonomi juga menyebabkan pemerintah AS harus mengambil alih kewajiban (bail-out) perusahaaan senjatanya, Lockheed Martin yang diambang kebangkrutan.

Ujung-ujungnya, beliau pun menganjurkan Presiden Nixon untuk mengakhiri sistem Bretton Woods/kuasi standar emas (bank-bank sentral negara lain bisa menukarkan tiap US$1 yang dimilikinya dengan 35 ons emas) yang berlaku sejak 1934. Peristiwa yang sering disebut sebagai Nixon Shock ini menandai jatuhnya kepercayaan pemegang dollar AS terhadap kemampuan pemerintah AS dalam menanggulangi persoalan tripple-deficit yang dialaminya (defisit neraca pembayaran, defisit neraca perdagangan dan defisit fiskal).

Mulai saat itu, Bank sentral AS (FED) tidak berkewajiban lagi untuk mengaitkan nilai mata uang-nya dengan emas. FED berhak untuk mencetak berapa pun uang yang diinginkannya. Alhasil, sektor riil pun terekspos pada risiko fluktuasi nilai tukar mata uang, dimana gejolaknya sudah memicu krisis di banyak negara.

Rentetan peristiwa di atas menunjukkan betapa pentingnya kebijakan macro dan microprudential terhadap kepercayaan pasar. Sejauh ini, persoalan tripple deficit di negara-negara maju hanya coba diatasi dengan  aksi cetak uang. Jika kebijakan eksperimental di atas tak berhasil, saya khawatir tatanan arsitektur finansial global akan kembali dipaksa untuk berubah radikal, sama seperti yang pernah terjadi tahun 1971.


Open-ended quantitative easing

Sejak krisis ekonomi 2008, bank-bank sentral dunia terus menggelontorkan likuiditas ke pasar keuangan. Di samping Jepang yang terus menggelontorkan stimulus, Bank Sentral Eropa (ECB) sudah mengumumkan rencana pembelian obligasi pemerintah negara-negara Eropa di pasar sekunder secara tak terbatas (Outright Monetary Transactions).

FED sendiri sudah mencetak $2 triliun uang baru (quantitative easing/QE) sejak 2008. Pada QE1 (Nov 2008 – Mar 2010), FED menggelontorkan $1,42 triliun, sementara pada QE2 (Nov 2010 – Jun 2011), likuiditas mengalir hingga $600 milyar. Mulai Sep 2012, FED melakukan QE sebesar $40 milyar/bulan yang sifatnya open-ended (durasi waktu dan besaran stimulus fleksibel tergantung perkembangan ekonomi).

Sejauh ini, kucuran likuiditas ini belum banyak berpengaruh ke sektor riil. Pengaruh dari QE open-ended terhadap pasar modal maupun harga komoditas sejauh ini, menurut pendapat saya masih sebatas sentimen.
Investor tampaknya masih menunggu efektifitas kebijakan otoritas moneter tersebut, termasuk mencermati perkembangan ekonomi Eropa dan resolusi isu fiscal cliff AS. Isu fiscal cliff AS (berakhirnya potongan pajak yang berlaku sejak era Bush) patut diwaspadai. Jika tak ada kesepakatan di parlemen, ekonomi AS dikhawatirkan akan kembali resesi, dimana pertumbuhan diperkirakan kembali melemah ke level -1,5% – -0,5% pada tahun 2013.

Selain itu, tak seperti saat QE1 dan QE2 diluncurkan, kini permintaan riil terutama dari China cenderung masih lemah. Aktivitas manufaktur China berjalan lamban, tercermin dari Purchasing Manager Index (PMI) China yang terus berada di zona kontraksi sejak Nov 2011. Lesunya sektor riil mendorong pemerintah China merevisi target pertumbuhan ekonominya tahun 2012 menjadi hanya sebesar 7,5%.

Sebagai catatan, China hanya menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 7-7,5% dalam Rencana Pembangunan 2011-2015 (China’s 12th Five-Year Plan). Level pertumbuhan tersebut dianggap sudah dapat menyerap pertumbuhan angkatan kerja baru. Ke depan, China tampaknya akan berupaya mengurangi ketergantungan terhadap ekspor dan belanja modal, seraya mendorong peningkatan peran konsumsi domestik.

Dalam jangka pendek, harapan pasar kini tertuju pada realisasi stimulus infrastruktur China. Pemerintah China memang sudah mengumumkan rencana pembangunan proyek-proyek infrastruktur senilai 1 triliun yuan (US$157 milyar). Namun, implementasi dari kebijakan stimulus infrastruktur tersebut kemungkinan baru akan dilaksanakan setelah pergantian pimpinan China akhir tahun ini.


Misalokasi sumber daya

Kebijakan moneter longgar di negara-negara maju dapat memberi efek samping dan risiko tersendiri bagi negara-negara emerging markets, termasuk Indonesia. Limpahan likuiditas tersebut jika tak terkelola dengan baik dapat mendorong terjadinya misalokasi sumber daya.
Kelas-kelas aset tertentu seperti komoditas, saham dan terutama properti bisa mengalami gelembung harga. Ini tentunya dapat membahayakan fundamental ekonomi negara-negara bersangkutan dan potensial meningkatkan risiko sistemik.

Kondisi ini sebenarnya pernah juga terjadi dua dekade yang lalu sebelum krisis ekonomi Asia 1997. Setelah gelembung harga properti di Jepang pecah, suku bunga kebijakan bank sentral Jepang terus diturunkan dari 6% di 1990 ke 1,75% pada 1992-1994. Pada periode yang sama FED juga menerapkan kebijakan suku bunga rendah di kisaran 3%.

Kebijakan easy money policy di negara-negara maju ini menimbulkan spillover effect berupa ekspansi kredit besar-besaran di negara-negara macan Asia dan booming di pasar properti. Ujung-ujungnya, pasar properti di Thailand pun mengalami crash pada pertengahan 1997 dan dampaknya kemudian menyebar via transmisi pasar finansial ke negara-negara Asia lainnya.

Sejauh ini, penyaluran kredit di Indonesia memang belum dalam tren yang membahayakan. Hingga Q3-2012, rasio kredit terhadap PDB Indonesia tercatat sebesar 31,6%, naik sedikit dari 26,4% pada tahun 2008 saat terjadi krisis global. Rasio ini masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara tetangga kita. Contohnya, rasio kredit/PDB Malaysia sejak 2008 sudah naik dari 97,6% menjadi 117,3% pada Q3-2012, sementara rasio kredit/PDB Thailand naik dari 81,1% menjadi 95,3%. Kenaikan yang paling drastis dialami Singapura yang pada periode yang sama rasionya naik dari 116,5% menjadi 140,6%.


Kebijakan nilai tukar

Gejolak ekonomi eksternal seperti dijelaskan di atas dan kuatnya tekanan pada neraca transaksi berjalan tampaknya mendorong BI untuk memberikan toleransi yang lebih besar bagi pelemahan Rupiah. Rupiah sudah tembus Rp9,600/$ atau melemah sebesar 5,8% sejak awal tahun hingga awal Nov 2012. Rupiah memang paling lemah dibandingkan dengan kurs negara-negara pesaing ekspor kita, seperti baht Thailand dan ringgit Malaysia yang pada periode yang sama masing-masing menguat sebesar 2,8% dan 3,9%.

Sementara ini, otoritas moneter tampaknya akan lebih mengandalkan kebijakan nilai tukar (Rupiah dibiarkan lebih lemah dari fundamentalnya) dibandingkan mengotak-atik policy rate atau suku bunga fasilitas BI. Sebagai catatan, cadangan devisa meningkat US$3,7 bn pada periode Jun-Sep 2012, sementara pada periode yang sama kurs Rupiah melemah sebesar 2,1%. Ini merupakan indikasi bahwa BI cukup toleran terhadap pelemahan Rupiah.

Pelemahan Rupiah tampaknya mulai memberikan disinsentif bagi kegiatan impor dan sebaliknya memberikan insentif bagi aktivitas ekspor. Kebijakan nilai tukar ini sedikit banyak mulai berkontribusi pada perbaikan neraca perdagangan. Terbukti neraca perdagangan RI pada Agustus dan September perlahan sudah kembali surplus masing-masing sebesar US$248,5 juta dan US$552,9 juta.

Namun perlu diingat, Rupiah seharusnya tidak dibiarkan melemah terlalu dalam dan kian jauh dari nilai fundamentalnya. Sebab, jika kurs Rupiah dibiarkan bergerak terlalu jauh dari nilai fundamentalnya, maka asumsi indikator ekonomi lainnya seperti pertumbuhan, suku bunga dan inflasi tentunya akan ikut bergeser. Ini tentunya akan menganggu fundamental ekonomi Indonesia secara keseluruhan.

Dalam rangka antisipasi banjir likuiditas dari bank-bank sentral negara maju, Rupiah memang seharusnya jangan dibiarkan terlalu kuat. Langkah ini diperlukan karena kebijakan moneter longgar negara-negara maju, termasuk QE open-ended yang baru-baru ini diluncurkan cepat atau lambat dapat memicu babak baru perang mata uang (global currency war).

Bank sentral negara-negara emerging market cenderung akan kembali berlomba untuk mencegah penguatan atau bahkan mendorong pelemahan mata uang-nya masing-masing (competive currency devaluation). Hal ini dilakukan agar kurs tidak terlalu fluktuatif sehingga stabilitas di sektor riil pun dapat dipertahankan.

Alasan lainnya adalah tren pelemahan ekspor non-komoditas Indonesia. Ekspor non-komoditas (utamanya ekspor barang manufaktur) sudah menunjukkan tren menurun sejak tahun 2007. Pelemahan ini memberikan sinyal terjadinya pemburukan daya saing produk manufaktur Indonesia di pasar internasional.

Saya mensinyalir Indonesia sudah dihinggapi penyakit yang sering disebut ekonom sebagai fenomena Dutch Disease. Naiknya harga dan permintaan komoditas telah mendorong tingginya ekspor komoditas Indonesia sehingga Rupiah pun terus menguat sejak akhir 2008. Tapi di sisi lain, penguatan Rupiah tampaknya memberikan dampak negatif bagi daya saing ekspor non-komoditas.


Manajemen devisa

Di kawasan ASEAN, Thailand tampaknya paling berhasil dalam mensikapi kebijakan QE1 dan QE2 yang dilakukan FED. Pergerakan Baht Thailand tampak relatif lebih stabil dibanding negara-negara lain di kawasan, sementara cadangan devisanya pun terus meningkat. Pada periode QE1 dan QE2, volatilitas Thailand Baht yang diukur dengan standard devisasi rata-rata tercatat sebesar 3,05, jauh lebih rendah dari dibandingkan standar deviasi Rupiah yang sebesar 6,52.

Langkah kebijakan penumpukan cadangan devisa memang ada ongkosnya berupa naiknya biaya sterilisasi. Kenaikan ongkos ini terjadi karena intervensi di pasar valas oleh bank sentral akan mendorong naiknya pasokan uang beredar yang perlu disterilisasi atau diserap bank sentral.

Sebagian besar dana valas hasil intervensi biasanya ditempatkan bank sentral di instrumen Treasury notes negara-negara maju yang berbunga sangat rendah. Di sisi lain, bank sentral harus membayar Rupiah yang diserapnya dengan bunga yang lebih mahal. Dengan kata lain, biaya dana yang harus dibayarkan bank sentral lebih tinggi dari pendapatan bunga yang diperoleh (negative carry).

Demi menjaga stabilitas ekonomi domestik, kebijakan stabilisasi kurs perlu tetap dilanjutkan. Namun, agar cadangan devisa bisa lebih berdaya guna, ide untuk membentuk Sovereign Wealth Fund (SWF) menjadi salah satu alternatif yang perlu dipertimbangkan.

David Sumual


0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More