“The
dollar is our currency, but it’s your problem”
Kalimat
di atas diucapkan John Connally, Menteri Keuangan AS pada tahun 1971, menanggapi banyaknya negara yang khawatir akan dampak depresiasi dollar terhadap
fundamental ekonomi masing-masing.
Connally
yang pada tahun 1963 terluka parah karena berada di mobil yang sama saat
Presiden Kennedy terbunuh kurang-lebih menghadapi persoalan yang mirip dengan
yang dihadapi Timothy Geithner akhir-akhir ini.
Ketika
itu, AS harus menaikkan pagu utang dan defisit anggaran masing-masing sebesar
US$50 milyar dan US$40 milyar. Neraca pembayaran dan neraca perdagangan AS
sedang berdarah-darah. Buruknya situasi ekonomi juga menyebabkan pemerintah AS
harus mengambil alih kewajiban (bail-out) perusahaaan senjatanya, Lockheed
Martin yang diambang kebangkrutan.
Ujung-ujungnya,
beliau pun menganjurkan Presiden Nixon untuk mengakhiri sistem Bretton
Woods/kuasi standar emas (bank-bank sentral negara lain bisa menukarkan tiap
US$1 yang dimilikinya dengan 35 ons emas) yang berlaku sejak 1934. Peristiwa
yang sering disebut sebagai Nixon Shock ini menandai jatuhnya kepercayaan
pemegang dollar AS terhadap kemampuan pemerintah AS dalam menanggulangi
persoalan tripple-deficit yang dialaminya (defisit neraca pembayaran, defisit
neraca perdagangan dan defisit fiskal).
Mulai
saat itu, Bank sentral AS (FED) tidak berkewajiban lagi untuk mengaitkan nilai
mata uang-nya dengan emas. FED berhak untuk mencetak berapa pun uang yang
diinginkannya. Alhasil, sektor riil pun terekspos pada risiko fluktuasi nilai
tukar mata uang, dimana gejolaknya sudah memicu krisis di banyak negara.
Rentetan
peristiwa di atas menunjukkan betapa pentingnya kebijakan macro dan
microprudential terhadap kepercayaan pasar. Sejauh ini, persoalan tripple
deficit di negara-negara maju hanya coba diatasi dengan aksi cetak uang. Jika kebijakan eksperimental
di atas tak berhasil, saya khawatir tatanan arsitektur finansial global akan
kembali dipaksa untuk berubah radikal, sama seperti yang pernah terjadi tahun
1971.
Open-ended
quantitative easing
Sejak
krisis ekonomi 2008, bank-bank sentral dunia terus menggelontorkan likuiditas
ke pasar keuangan. Di samping Jepang yang terus menggelontorkan stimulus, Bank
Sentral Eropa (ECB) sudah mengumumkan rencana pembelian obligasi pemerintah
negara-negara Eropa di pasar sekunder secara tak terbatas (Outright Monetary
Transactions).
FED
sendiri sudah mencetak $2 triliun uang baru (quantitative easing/QE) sejak
2008. Pada QE1 (Nov 2008 – Mar 2010), FED menggelontorkan $1,42 triliun,
sementara pada QE2 (Nov 2010 – Jun 2011), likuiditas mengalir hingga $600
milyar. Mulai Sep 2012, FED melakukan QE sebesar $40 milyar/bulan yang sifatnya
open-ended (durasi waktu dan besaran stimulus fleksibel tergantung perkembangan
ekonomi).
Sejauh
ini, kucuran likuiditas ini belum banyak berpengaruh ke sektor riil. Pengaruh
dari QE open-ended terhadap pasar modal maupun harga komoditas sejauh ini,
menurut pendapat saya masih sebatas sentimen.
Investor
tampaknya masih menunggu efektifitas kebijakan otoritas moneter tersebut,
termasuk mencermati perkembangan ekonomi Eropa dan resolusi isu fiscal cliff
AS. Isu fiscal cliff AS (berakhirnya potongan pajak yang berlaku sejak era
Bush) patut diwaspadai. Jika tak ada kesepakatan di parlemen, ekonomi AS
dikhawatirkan akan kembali resesi, dimana pertumbuhan diperkirakan kembali
melemah ke level -1,5% – -0,5% pada tahun 2013.
Selain
itu, tak seperti saat QE1 dan QE2 diluncurkan, kini permintaan riil terutama
dari China cenderung masih lemah. Aktivitas manufaktur China berjalan lamban,
tercermin dari Purchasing Manager Index (PMI) China yang terus berada di zona
kontraksi sejak Nov 2011. Lesunya sektor riil mendorong pemerintah China
merevisi target pertumbuhan ekonominya tahun 2012 menjadi hanya sebesar 7,5%.
Sebagai
catatan, China hanya menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 7-7,5% dalam
Rencana Pembangunan 2011-2015 (China’s 12th Five-Year Plan). Level pertumbuhan
tersebut dianggap sudah dapat menyerap pertumbuhan angkatan kerja baru. Ke
depan, China tampaknya akan berupaya mengurangi ketergantungan terhadap ekspor
dan belanja modal, seraya mendorong peningkatan peran konsumsi domestik.
Dalam
jangka pendek, harapan pasar kini tertuju pada realisasi stimulus infrastruktur
China. Pemerintah China memang sudah mengumumkan rencana pembangunan
proyek-proyek infrastruktur senilai 1 triliun yuan (US$157 milyar). Namun,
implementasi dari kebijakan stimulus infrastruktur tersebut kemungkinan baru
akan dilaksanakan setelah pergantian pimpinan China akhir tahun ini.
Misalokasi
sumber daya
Kebijakan
moneter longgar di negara-negara maju dapat memberi efek samping dan risiko
tersendiri bagi negara-negara emerging markets, termasuk Indonesia. Limpahan
likuiditas tersebut jika tak terkelola dengan baik dapat mendorong terjadinya
misalokasi sumber daya.
Kelas-kelas
aset tertentu seperti komoditas, saham dan terutama properti bisa mengalami
gelembung harga. Ini tentunya dapat membahayakan fundamental ekonomi
negara-negara bersangkutan dan potensial meningkatkan risiko sistemik.
Kondisi
ini sebenarnya pernah juga terjadi dua dekade yang lalu sebelum krisis ekonomi
Asia 1997. Setelah gelembung harga properti di Jepang pecah, suku bunga
kebijakan bank sentral Jepang terus diturunkan dari 6% di 1990 ke 1,75% pada
1992-1994. Pada periode yang sama FED juga menerapkan kebijakan suku bunga
rendah di kisaran 3%.
Kebijakan
easy money policy di negara-negara maju ini menimbulkan spillover effect berupa
ekspansi kredit besar-besaran di negara-negara macan Asia dan booming di pasar
properti. Ujung-ujungnya, pasar properti di Thailand pun mengalami crash pada
pertengahan 1997 dan dampaknya kemudian menyebar via transmisi pasar finansial
ke negara-negara Asia lainnya.
Sejauh
ini, penyaluran kredit di Indonesia memang belum dalam tren yang membahayakan.
Hingga Q3-2012, rasio kredit terhadap PDB Indonesia tercatat sebesar 31,6%,
naik sedikit dari 26,4% pada tahun 2008 saat terjadi krisis global. Rasio
ini masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara tetangga kita.
Contohnya, rasio kredit/PDB Malaysia sejak 2008 sudah naik dari 97,6% menjadi
117,3% pada Q3-2012, sementara rasio kredit/PDB Thailand naik dari 81,1%
menjadi 95,3%. Kenaikan yang paling drastis dialami Singapura yang pada periode
yang sama rasionya naik dari 116,5% menjadi 140,6%.
Kebijakan
nilai tukar
Gejolak
ekonomi eksternal seperti dijelaskan di atas dan kuatnya tekanan pada neraca
transaksi berjalan tampaknya mendorong BI untuk memberikan toleransi yang lebih
besar bagi pelemahan Rupiah. Rupiah sudah tembus Rp9,600/$ atau melemah sebesar
5,8% sejak awal tahun hingga awal Nov 2012. Rupiah memang paling lemah
dibandingkan dengan kurs negara-negara pesaing ekspor kita, seperti baht
Thailand dan ringgit Malaysia yang pada periode yang sama masing-masing menguat
sebesar 2,8% dan 3,9%.
Sementara
ini, otoritas moneter tampaknya akan lebih mengandalkan kebijakan nilai tukar
(Rupiah dibiarkan lebih lemah dari fundamentalnya) dibandingkan mengotak-atik
policy rate atau suku bunga fasilitas BI. Sebagai catatan, cadangan devisa
meningkat US$3,7 bn pada periode Jun-Sep 2012, sementara pada periode yang sama
kurs Rupiah melemah sebesar 2,1%. Ini merupakan indikasi bahwa BI cukup toleran
terhadap pelemahan Rupiah.
Pelemahan
Rupiah tampaknya mulai memberikan disinsentif bagi kegiatan impor dan
sebaliknya memberikan insentif bagi aktivitas ekspor. Kebijakan nilai tukar ini
sedikit banyak mulai berkontribusi pada perbaikan neraca perdagangan. Terbukti
neraca perdagangan RI pada Agustus dan September perlahan sudah kembali surplus
masing-masing sebesar US$248,5 juta dan US$552,9 juta.
Namun
perlu diingat, Rupiah seharusnya tidak dibiarkan melemah terlalu dalam dan kian
jauh dari nilai fundamentalnya. Sebab, jika kurs Rupiah dibiarkan bergerak
terlalu jauh dari nilai fundamentalnya, maka asumsi indikator ekonomi lainnya
seperti pertumbuhan, suku bunga dan inflasi tentunya akan ikut bergeser. Ini
tentunya akan menganggu fundamental ekonomi Indonesia secara keseluruhan.
Dalam
rangka antisipasi banjir likuiditas dari bank-bank sentral negara maju, Rupiah
memang seharusnya jangan dibiarkan terlalu kuat. Langkah ini diperlukan karena
kebijakan moneter longgar negara-negara maju, termasuk QE open-ended yang
baru-baru ini diluncurkan cepat atau lambat dapat memicu babak baru perang mata
uang (global currency war).
Bank
sentral negara-negara emerging market cenderung akan kembali berlomba untuk
mencegah penguatan atau bahkan mendorong pelemahan mata uang-nya masing-masing
(competive currency devaluation). Hal ini dilakukan agar kurs tidak terlalu
fluktuatif sehingga stabilitas di sektor riil pun dapat dipertahankan.
Alasan
lainnya adalah tren pelemahan ekspor non-komoditas Indonesia. Ekspor
non-komoditas (utamanya ekspor barang manufaktur) sudah menunjukkan tren
menurun sejak tahun 2007. Pelemahan ini memberikan sinyal terjadinya pemburukan
daya saing produk manufaktur Indonesia di pasar internasional.
Saya
mensinyalir Indonesia sudah dihinggapi penyakit yang sering disebut ekonom
sebagai fenomena Dutch Disease. Naiknya harga dan permintaan komoditas telah
mendorong tingginya ekspor komoditas Indonesia sehingga Rupiah pun terus
menguat sejak akhir 2008. Tapi di sisi lain, penguatan Rupiah tampaknya
memberikan dampak negatif bagi daya saing ekspor non-komoditas.
Manajemen
devisa
Di
kawasan ASEAN, Thailand tampaknya paling berhasil dalam mensikapi kebijakan QE1
dan QE2 yang dilakukan FED. Pergerakan Baht Thailand tampak relatif lebih
stabil dibanding negara-negara lain di kawasan, sementara cadangan devisanya
pun terus meningkat. Pada periode QE1 dan QE2, volatilitas Thailand Baht yang
diukur dengan standard devisasi rata-rata tercatat sebesar 3,05, jauh lebih
rendah dari dibandingkan standar deviasi Rupiah yang sebesar 6,52.
Langkah
kebijakan penumpukan cadangan devisa memang ada ongkosnya berupa naiknya biaya
sterilisasi. Kenaikan ongkos ini terjadi karena intervensi di pasar valas oleh
bank sentral akan mendorong naiknya pasokan uang beredar yang perlu
disterilisasi atau diserap bank sentral.
Sebagian
besar dana valas hasil intervensi biasanya ditempatkan bank sentral di
instrumen Treasury notes negara-negara maju yang berbunga sangat rendah. Di
sisi lain, bank sentral harus membayar Rupiah yang diserapnya dengan bunga yang
lebih mahal. Dengan kata lain, biaya dana yang harus dibayarkan bank sentral
lebih tinggi dari pendapatan bunga yang diperoleh (negative carry).
Demi
menjaga stabilitas ekonomi domestik, kebijakan stabilisasi kurs perlu tetap
dilanjutkan. Namun, agar cadangan devisa bisa lebih berdaya guna, ide untuk
membentuk Sovereign Wealth Fund (SWF) menjadi salah satu alternatif yang perlu
dipertimbangkan.
David Sumual